27 Agustus 2008

"SINGLE AUDIT"

Audit merupakan suatu proses sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang berhubungan dengan asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara obyektif untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Single Audit (di Amerika) adalah merupakan kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh CPA’s firm (Kantor Akuntan Publik) atas penggunaan reward yang diberikan oleh pihak Federal kepada entitas non-Federal (NFEs) dengan jumlah nominal diatas US$ 500,000 dalam satu tahun dan dilaksanakan berdasarkan GAGAS yang dikeluarkan pemerintah, GAAS yang dikeluarkan oleh AICPA, & OMB Circular A-133.

Istilah single audit mungkin asing bagi orang awam, bahkan bagi mahasiswa atau praktisi yang mempelajari atau menggeluti bidang audit. Di Indonesia, belum ada satu aturan maupun standar yang mengatur secara khusus tentang single audit/audit tunggal seperti yang dilakukan di US, meskipun ‘mungkin’ banyak pemeriksaan atau audit yang dilakukan telah mengarah pada kegiatan dalam lingkup single audit seperti yang diterapkan di US. ‘Saking’ asingnya istilah tersebut dan dikarenakan banyaknya istilah teknis auditing yang sulit dimengerti oleh aparat pemeriksa, BPKP sebagai auditor internal pemerintah sempat menerbitkan klarifikasi tentang definisi single audit/audit tunggal. BPKP mendefinisikan single audit tersebut sebagai berikut:

single audit bukanlah jenis audit, tetapi merupakan pendekatan yang digunakan untuk melaksanakan audit secara efisien. Single audit dapat disebut sebagai audit tunggal dengan maksud untuk meniadakan duplikasi (tumpang tindih) audit dalam waktu bersamaan”.

Jika memang istilah single audit yang digunakan di Indonesia mengacu pada single audit yang diterapkan di US, maka dapat dikatakan klarifikasi dari BPKP tentang istilah single audit di atas ‘mungkin‘ telah ‘melenceng’ dari single audit yang sebenarnya.


BPK & BPKP sebagai auditor Pemerintah Indonesia, yang selama ini melakukan pemeriksaan atas pertanggungjawaban pengelolaan Keuangan Negara, dalam dinamika pelaksanaan kegiatan pemeriksaan atas Keuangan Negara tersebut banyak mengalami kendala. Kendala tersebut timbul salah satunya dikarenakan oleh lemahnya standard dan aturan atas pelaksanaaan kegiatan pemeriksaan/audit yang ada. Dampak dari kendala tersebut banyak menimbulkan masalah yang mempengaruhi kinerja, dan kredibilitas pemerintah Indonesia dimata masyarakat lokal dan masyarakat internasional.

Tidak adanya standard dan aturan yang jelas mengenai audit atas segala sesuatu yang berkaitan dengan Keuangan Negara yang diberikan kepada pihak non-pemerintah pusat telah ‘menimbulkan’ permasalahan sendiri yang cukup kompleks. Permasalahan tersebut juga membuat Indonesia dipermalukan dan juga mengacaukan keuangan Negara.

Kita ambil contoh kasus seperti dana hibah dari ASEM Trust Fund Agreement TF 050178-IND (Grant for Strengthening Safeguarding and Monitoring in and beyond Social Safety Net Program) tertanggal 29 Oktober 2001 Untuk SSMP (Strengthening, Safeguarding and Monitoring in and beyond Social Safety net Program), dana tersebut berjumlah US$ 573,025. Dalam hal ini Bank Dunia menjadi penyalur dan pengawasnya.

Penggunaan dan penyaluran dana tersbut berakhir dengan pengembalian dana hibah tersebut secara penuh ke Negara donatur. Hal tersebut terjadi dikarenakan Pemerintah Indonesia dinilai gagal mengelola dana batuan dengan baik, dan diduga telah terjadi penyelewengan atau korupsi atas dana tersebut. Sebenarnya aparat pemeriksa pemerintah (BPK, BPKP) telah melakukan pemeriksaan penggunaan dana tersebut, namun hasil auditnya tidak dapat meyakinkan pihak Negara pemberi bantuan. Bahkan World Bank melakukan penyelidikan sendiri dan mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi korupsi atas dana tersebut, sehingga Indonesia didaulat untuk mengembalikan dana bantuan tersebut secara keseluruhan termasuk dana yang telah disalurkan/digunakan.

Contoh lainnya, menyangkut dana hibah dengan jumlah yang lebih besar, yaitu sejumlah US$ 4.709.333,80 dari Bank Dunia. Dana tersebut pada akhirnya juga harus dikembalikan secara penuh kepada Negara pemberi bantuan. Hal tersebut, lagi-lagi kalau mau diteliti akar permasalahannya, maka adalah dikarenakan masih kurang memadainya standar dan aturan yang jelas dalam hal pengelolaan dan pertanggungjawaban atas Keuangan Negara di Indonesia, sehingga hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat pemeriksa atas dana tersebut tidak diakui oleh pihak pemberi bantuan.

Dalam kasus tersebut bahkan Bank Dunia ‘menyewa’ auditor dari E&Y (Ernst & Young) yang merupakan KAP no.1 di dunia pada saat itu, untuk mengaudit secara ‘diam-diam’ atas penggunaan dana bantuan tersebut. Hasil audit yang dilakukan E&Y dan diterbitkan oleh Bank Dunia dalam dokumen setebal 180 halaman, menyimpulkan bahwa dana bantuan tersebut telah diselewengkan atau dikorupsi. Namun sangat disayangkan, hasil audit tersbut tidak menjelaskan standar dan prosedur apa saja yang telah digunakan. Seharusnya audit yang dilaksanakan ‘paling tidak’ menggunakan standar pemeriksaan yang berlaku di Indonesia.

Dari berbagai kasus yang terjadi tersebut, sebenarnya kita tidak dapat menyalahkan pihak pihak pemberi bantuan, karena merupakan hal yang wajar jika Negara pemberi bantuan ingin mengetahui tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban atas dana yang diberikannya. Namun kurang tepat juga jika Negara pemberi bantuan tersebut melakukan sendiri audit atas bantuan yang diberikan tanpa mengkomunikasikan dan melibatkan Negara penerima bantuan. Tetapi ‘apa mau dikata’ jika Negara penerima (Indonesia) ternyata juga tidak mempunyai standar dan aturan yang memadai untuk digunakan, dalam hal ini tidak ada pihak yang dapat disalahkan, walaupun pada akhirnya Negara Indonesia juga yang dirugikan dan ‘dipermalukan’, lebih lagi karena dana bantuan tersebut juga masuk dalam APBN, maka realisasi pelaksanaan APBN-pun menjadi kacau, karena dana bantuan yang sebagian sudah digunakan juga harus dikembalikan.

Walaupun sedikit terlambat, namun perlahan lembaga pemeriksa di Indonesia sudah mulai memperbaiki diri, hal ini dapat dilihat dengan diterbitkannya Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan pemeriksaan atas keuangan Negara, standar tersebut dikeluarkan pada tahun 2007. Pada tahun selanjutnya (2008), BPK sebagai auditor eksternal pemerintah mengeluarkan “Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No.1 Tahun 2008, Tentang Pemeriksa Dan/Atau Tenaga Ahli Dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan”. Dengan adanya aturan tersebut maka akan semakin jelaslah aturan main dalam hal pemeriksaan Keuangan Negara di Indonesia.

BPK sendiri dalam berbagai kesempatan mengakui bahwa pihaknya merasa ‘kesulitan’ untuk melakukan pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan Keuangan Negara. Anwar Nasution selaku ketua BPK pernah mengatakan bahwa “BPK hanya mampu mengaudit 6-7 saluran yang menyangkut Keuangan Negara, itupun sudah cukup sulit”. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa, sebenarnya Indonesia membutuhkan standar khusus untuk melakukan kegiatan pemeriksaan atas hal-hal yang menyangkut Keuangan Negara, mungkin bisa jadi semacam ‘single audit’ yang dilaksanakan di US. Dengan dikeluarkannya Peraturan BPK no. 1 yang mengatur tentang penggunaan bantuan pemeriksa dari pihak luar (KAP, tenaga ahli, dll) tersebut, diharapkan pemeriksaan atas Keuangan Negara di Indonesia dapat berjalan lebih baik, tentu saja dengan perbaikan yang berkelanjutan.

Tidak ada komentar: